“Pandanganku tentang pernikahan”
Oleh:
IDA FARIDA
(Mahasiswa Kesehatan Masyarakat UIN Syahid Jakarta)
Ketika terbersit kata pernikahan, yang terbersit di benakku apa ya? Kehidupan baru dengan keluarga baru. Punya anak dan bersama suami mengurus dan mendidik anak agar menjadi anak yang sholeh dnn sholihah. Kalo itu sih umum banget…
Satu hal yang selalu aku pikirkan ketika memandang makna pernikahan adalah jangan sampai aku mencintai suami dan keluargaku melebihi cintaku kepada Allah SWT. Jika di analogikan suami dan keluarga baru nanti hanyalah sebuah sarana untuk beribadah kepada Allah. Pengabdian aku kepada suami diniatkan hanya untuk mencari keridhoan Allah SWT.
Tapi kemudian, terlintas di pikiranku, berarti siapapun laki-laki yang nanti akan menjadi suami aku, siapapun orangnya, tidak masalah buat aku, karena aku hanya menganggap suami hanyalah salah satu sarana mendekatkan diri kepada Allah… Aku pun mulai berpikir, apakah pendapatku ini salah? Karena aku pikir, hanya dengan sedikit cinta kepada suami itu sudah cukup.
Aku mulai berpikir seperti ini, sejak aku membaca sebuah buku, judulnya 101 kisah teladan, pada salah satu kisah dalam buku tersebut, diceritakan ada seorang wanita cantik, sholihah, kaya raya yang menikah dengan laki-laki yang dari segi fisik tidak cukup ganteng, miskin, berkulit hitam, dan lain-lain. Wanita tersebut begitu ikhlas menerima keadaan suaminya dan senantiasa berusaha membahagiakan suaminya. Ia menganggap mungkin ini adalah ujian dari Allah bagi dirinya agar ia bisa belajar ikhlas dan sabar, serta sebagai sarana untuk menghapus dosa-dosanya. Bagi sang suami, mendapatkan istri seperti wanita sholihah tersebut dianggap sebagai karunia yang tak terhingga mungkin sebagai balasan atas kesabaran dan amal baiknya selama ini. Mereka pun hidup bahagia.
Sejak membaca buku itu pikiranku tentang pernikahan mulai berubah… ya, aku pikir, jika kita ikhlas menerima keadaan pasangan suami kita apa adanya kita akan bahagia. Tapi ternyata tidak cukup jika hanya berpikiran seperti itu.
“Dua insan yang saling mencintai bukanlah dua pasang mata yang saling berpandangan, namun ketika dua pasang bola mata tersebut memandang ke arah yang sama.”
Subhanallah… kata-kata itu telah menjawab pertanyaanku selama ini. Ternyata hakikat pernikahan tidak hanya terkait masalah keikhlasan dan harapan dari salah satu pihak, namun dari keduanya (suami dan istri) harus memiliki komitmen diri dan tujuan yang sama untuk apa keluarga tersebut dibangun. Karena jika hanya salah satu pihak saja, pasti akan banyak hambatan, pertengkaran sangat mungkin terjadi.
Selanjutnya ketika pernikahan tersebut telah terwujud, bagaimana kita mampu mengisinya dengan amalan-amalan yang disukai Allah, mendidik anak-anak agar menjadi penerus dakwah Rasulullah saw... menjadi para penghafal Al-qur’an, menjadi dokter atau apapun yang bermanfaat bagi umat. Amin.... Insya Allah...
Kemudian, setelah berkeluarga, harapanku... aku tidak ingin hanya berdiam diri di rumah, mengerjakan urusan rumah tangga atau hanya menjaga anak, tapi itu penting dan tidak bisa ditinggalkan. Tapi aku juga ingin bisa bermanfaat bagi orang lain, aku ingin berdakwah, bekerja dan terus belajar... karena hidup ini terlalu singkat untuk menjadi orang biasa. Hidup ini juga teramat singkat jika kita hanya berleha-leha... teman aku juga pernah bilang, hidup ini terlalu singkat jika kita jalani dengan orang yang salah. So... pilihlah pasangan hidupnu, teman sejatimu yang akan menemani hari-harimu sampai akhir hayatmua dengan kacamata iman, dengan pilihan terbaik menurut pandangan Allah SWT...
Selamat berbahagia....
Depok, 3 Oktober 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar